Raja Jawa

Raja Jawa

Belanja di App banyak untungnya:

Menelisik raja-raja Jawa yang dimulai sejak Kerajaan KAlingga hingga Mataram Baru (Kasunanan Kartasura, Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat, Praja Mangkunagara, dan Kadipaten Paku Alaman) tidak dapat dilepaskan dengan sejarah kedatangan Sayid Anwar (Sang Hyang Nurasa) dan Syekh Subakir, serta kemunculan Sang Hyang di Tanah Jawa. Tiga tokoh penting yang tercatat di dalam Babad Tanah Jawa itu akan mendapatkan tempat pembahasan yang singkat namun tetap padat berisi. Sebab, jika kita meninggalkan pembahasan tiga tokoh itu, maka kita tidak akan sampai pada penguasa Tanah Jawa yang terakhir. Raja-raja Jawa adalah para penguasan kerajaan di Tanah Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) yang sejarahnya dicatat berdasarkan prasasti, kitab babad, dan serat tersebut bermula semenjak Ratu Shima (Kalinga) hingga raja-raja pasca Kerajaan Mataram Baru (Kasunanan Kartasura, Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Praja Mangkunagaran, dan Kadipaten Pakualaman). Buku ini secara umum akan menguak sejarah raja-raja Jawa yang pernah berkuasa di Tanah Jawa. Secara khusus, buku ini akan mengupas sepak terjang para raja di Tanah Jawa itu, baik dari sisi hitam dan sisi putihnya selama mereka berkuasa. Mempelajari sejarah raja-raja di Tanah Jawa, kita akan mengetahui dengan jernih kisah di masa lalu kita. Detail Informasi: Judul : Hitam Putih Kekuasaan Raja-Raja Jawa : Intirik, Konspirasi Perebuan Harta, Tahta, dan Wanita Penulis : Sri Wintala Achmad Penerbit : Araska Publisher Bahasa : Bahasa Indonesia Tahun Terbit : 2019 Berat : 0.35 kg Dimensi : 21 x 14 cm Jenis Cover : Soft Cover ISBN : 9786237145585 Jumlah Halaman : 296 halaman

Menelisik raja-raja Jawa yang dimulai sejak Kerajaan KAlingga hingga Mataram Baru (Kasunanan Kartasura, Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat, Praja Mangkunagara, dan Kadipaten Paku Alaman) tidak dapat dilepaskan dengan sejarah kedatangan Sayid Anwar (Sang Hyang Nurasa) dan Syekh Subakir, serta kemunculan Sang Hyang di Tanah Jawa. Tiga tokoh penting yang tercatat di dalam Babad Tanah Jawa itu akan mendapatkan tempat pembahasan yang singkat namun tetap padat berisi. Sebab, jika kita meninggalkan pembahasan tiga tokoh itu, maka kita tidak akan sampai pada penguasa Tanah Jawa yang terakhir. Raja-raja Jawa adalah para penguasan kerajaan di Tanah Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) yang sejarahnya dicatat berdasarkan prasasti, kitab babad, dan serat tersebut bermula semenjak Ratu Shima (Kalinga) hingga raja-raja pasca Kerajaan Mataram Baru (Kasunanan Kartasura, Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Praja Mangkunagaran, dan Kadipaten Pakualaman). Buku ini secara umum akan menguak sejarah raja-raja Jawa yang pernah berkuasa di Tanah Jawa. Secara khusus, buku ini akan mengupas sepak terjang para raja di Tanah Jawa itu, baik dari sisi hitam dan sisi putihnya selama mereka berkuasa. Mempelajari sejarah raja-raja di Tanah Jawa, kita akan mengetahui dengan jernih kisah di masa lalu kita. Detail Informasi: Judul : Hitam Putih Kekuasaan Raja-Raja Jawa : Intirik, Konspirasi Perebuan Harta, Tahta, dan Wanita Penulis : Sri Wintala Achmad Penerbit : Araska Publisher Bahasa : Bahasa Indonesia Tahun Terbit : 2019 Berat : 0.35 kg Dimensi : 21 x 14 cm Jenis Cover : Soft Cover ISBN : 9786237145585 Jumlah Halaman : 296 halaman

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Sumber informasi utama bagi anggota dan staf SESKOAL dalam studi keamanan dan pertahanan. Menyediakan koleksi buku, jurnal, dan sumber informasi terkait untuk mendukung pembelajaran, penelitian, dan pengembangan. Fokus pada pemahaman strategi pertahanan, taktik, kepemimpinan, dan bidang terkait lainnya. Komitmen dalam menyediakan layanan profesional dan akses mudah bagi anggota SESKOAL dalam menjalankan tugas mereka.

SETELAH sang raja njeplak (bahasa Jawa, buka mulut asal-asalan) atau ratu ceblang-ceblung (bahasa Jawa, bicara semaunya) berkoar tentang “raja Jawa”, unjuk rasa hari Kamis, 22 Agustus 2024, di Solo dan Yogyakarta, mendapat bahan tambahan membuat tulisan spanduk menentang keras “sang raja Jawa”.

Kecaman para pengunjuk rasa semakin keras, lantang dan membahana sampai ke langit ketujuh. Terutama di Solo dan Yogya, tempat raja-raja Jawa yang sebenarnya, bersemayam.

Sejumlah pengunjuk rasa mengatakan akan melanjutkan aksi unjuk rasa. Hari Jumat, 23 Agustus 2024, saya menemui beberapa demonstran yang sedang berjalan dari depan gedung TVRI Senayan, Jakarta, menuju ke depan pintu gerbang gedung Parlemen, yang sehari sebelumnya dijebol para pengunjuk rasa.

Ketika saya tanya tentang adanya orang yang menyinggung “raja Jawa”, seorang pengunjuk rasa sambil berjalan dan berwajah serius berkata, “Oh itu yang ngomong si raja njeplak."

Demonstran lainnya yang berjaket biru kusam menimpali, ”yang bicara tentang raja Jawa itu adalah ratu ceblang-ceblung (Jawa, artinya asal bicara).”

Dari samping gedung Parlemen Senayan, Jakarta, saya berpindah menyaksikan aksi unjuk rasa di depan Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jalan Imam Bonjol, yang di depannya (di garis batas jalan) sudah diberi benteng beton dan kawat berduri.

Unjuk rasa berlangsung cukup seru. Saya mengurungkan niat untuk mengajak bincang-bincang dengan para demonstran karena mereka nampak sibuk berunjuk rasa.

Saya hanya menonton hingga malam, sambil membayangkan tentang KPU yang pernah dipimpin orang yang dipecat karena melanggar susila.

Pergantian dari ketua KPU yang dipecat ke pelaksana tugas (PLT) ketua KPU berlangsung cepat karena, kata seorang komisioner KPU, “Kami di sini sudah seperti keluarga”, jadi lancar pergantiannya.

Hari Sabtu, 24 Agustus 2024, saya kontak teman-teman wartawan yang meliput aksi unjuk rasa di kedua kota itu.

Saya juga kontak para demonstran di kedua kota tempat kedudukan para raja Jawa setelah perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, yang membuat Kerajaan Mataram terpecah dua dan selanjutnya menjadi empat.

Banyak orang Jawa yakin, Kerajaan Mataram ini kelanjutan dari Kerajaan Singosari dan Majapahit (Jawa Timur).

Yang saya hubungi antara lain Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Sebelas Maret Solo (UNS), Agung Lucky Pradita.

Ia mengatakan, aksi unjuk rasa di depan Balaikota Solo hari Kamis, 22 Agustus 2024, diikuti sekurang-kurangnya 1.000 orang demonstran.

Selain bicara soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengaturan pencalonan kepala daerah dan sidang paripurna DPR untuk mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Waikota (Pilkada), Presiden BEM UNS itu lebih banyak mengutarakan jalannya aksi unjuk rasa, yel-yel mereka dan spanduk-spanduk besar yang mereka bawa.

“Kami berunjuk rasa di depan Balaikota karena ini simbol dari awal Jokowi dan Gibran mulai kariernya jadi pejabat publik,” ujar Agung Lucky Pradita.

Agung mengirimkan kepada saya foto-foto aksi unjuk rasa di depan Balai Kota Surakarta. Foto yang dikirimkan antara lain para demonstran yang membeberkan spanduk putih bertuliskan huruf besar warna hitam berbunyi “Kick Off Monarch” (maksudnya “tendang penguasa kerajaan atau raja”).

Ketika saya tanya, apakah bunyi tulisan di spanduk itu ditujukan pada kosakata “raja Jawa” yang banyak diberitakan setelah pertemuan (musyawarah nasional) sebuah partai di Jakarta baru-baru ini?

“Betul sekali, maksudnya kami menentang monarki atau raja dalam pemerintahan Republik ini,” ujar Agung.

Di sisi spanduk bertuliskan “KICK OFF MONARCH” digelar dua spanduk besar bertuliskan “Politik Dinasti Jokowi (kosakata dinasti ditulis dengan warna merah, kosakata politik dan Jokowi dengan warna hitam).

Spanduk lainnya lagi bertuliskan dengan warna hitam berbunyi, “HABIS GIBRAN TERBITLAH KAESANG”. Itulah spanduk-spanduk para pengunjuk rasa di Solo hari Kamis.

Spanduk lainnya yang dibeberkan dalam unjuk rasa di Solo juga berbunyi “Pulangkan Jokowi (berwarna merah) - TOLAK PILKADA AKAL-AKALAN (warna hitam)”.

Saya tanya, kenapa tidak dipulangkan ke Kalimantan Timur, tempat Istana baru yang dibangunnya? Agung menjawab, “Dia kan asalnya Solo".

Ia menambahkan rumah pribadi yang dibangun negara setelah lengser adalah di Karang Anyar (Surakarta), bukan di kawasan Istana di Kalimantan Timur.

Menjawab pertanyaan, Agung juga mengatakan hari Jumat dan Sabtu di Solo tidak diadakan unjuk rasa, istirahat, tapi setelah itu akan digelar lagi.

Unjuk rasa akan berlanjut

Sementara Ketua BEM Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Nugroho Prasetyo Aditama yang ikut berunjuk rasa di depan Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, hari Kamis (22/8), mengatakan, aksi unjuk rasa masih akan berlanjut.

“Karena nampaknya pemerintah masih mencoba untuk meloloskan revisi melalui beragam instrumen hukum,” ujar Nugroho yang matanya masih perih karena kena gas airmata.

“Kemungkinan atau setidak-tidaknya sampai tanggal 29 Agustus 2024, akan banyak aksi di berbagai daerah,” ujar Nugroho yang hampir pingsan karena tidak mendapatkan air minum selama unjuk rasa di depan Gedung Parlemen Senayan, Kamis (22/8).

Ketua BEM UGM ini termasuk demonstran yang masuk ke halaman gedung Parlemen setelah pintu masuk berhasil dijebol.

Nugroho banyak bercerita aksi di depan gedung Parlemen Senayan, dari pagi hingga malam hari, Kamis (22/8). Katanya di awal aksi unjuk rasa, dari pagi hingga siang, berlangsung tenang, walau ada bentrok-bentrok kecil.

Sebelum sore hari, ujarnya, salah satu bagian pagar berhasil dijebol, massa masuk. Ketika pagar yang jebol semakin lebar dan massa membesar, bentrok terjadi.

“Di halaman kami duduk dan menunggu. Kemudian terjadi pengepungan oleh aparat. Barikade polisi dengan mobil watercannon (mobil penyemprot air) datang dari arah Palmerah dan tentara dari arah Semanggi. Kami dipukul mundur, ricuh di halaman gedung Parlemen,” kisah Nugroho.

“Di luar pagar juga ricuh, chaos. Ada teman yang dipukul, dilempar batu dan kepalanya berdarah... semakin malam, setelah anggota DPR Masinton Pasaribu dan Dasco Ahmad menemui kami, mengumumkan pembahasan revisi dibatalkan, di antara kami ada yang gembira. Tapi saya ragu... selanjutnya aparat menembakkan gas airmata. Bagi saya, malam itu suasananya mirip perang antara aparat dengan rakyat,” demikian kisah Nugroho.

Dia juga menceritakan kehadiran anggota DPR Habiburrokhman yang dinilai tidak memberi jaminan memuaskan bagi massa pengunjuk rasa.

Ketua BEM UGM, Nugroho Prasetyo Aditama, juga memberi komentar aksi unjuk rasa di Yogyakarta yang antara lain menggelar spanduk besar bertuliskan berwarna merah dan hitam, “KERAJAAN MAJAPAHIT”.

“Ini sebuah sindiran kepada yang disebut raja Jawa yang membawa Indonesia ke masa sulit bagi rakyat dengan caranya memaksakan kehendak berkuasa melalui semua cara,” kata Nugroho.

Hari Sabtu (24/8), saya juga kontak dengan Ubedillah Badrun, dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), pengamat politik dan penulis kolom Kompas.com.

Doktor sosiologi ini hadir di tengah massa pengunjuk rasa di depan gedung Parlemen Senayan dan di gedung MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta.

Ubedillah Badrun mengirimkan pada saya pernyataan tertulis (Kamis 22 Agustus 2024) atas nama banyak orang berjudul “TRAGEDI PEMBEGALAN KONSTITUSI” yang sangat viral di berbagai bentuk media massa dan media sosial.

Pernyataan ini dibuka dengan perkataan kira-kira (kalau diperingan) berbunyi, demokrasi Indonesia semakin suram lima tahun terakhir ini.

Menjawab pertanyaan saya, Ubedillah Badrun mengatakan, ada rencana aksi unjuk rasa sebagian elemen masyarakat hari Senin (26/8).

“Selebihnya, semua simpul elemen fokus evaluasi dan konsolidasi untuk agenda besar berikutnya,” ujar Ubedillah Badrun yang banyak disebut sebagai penjahit simpul-simpul antarelemen pengunjuk rasa.